Senin, 09 Desember 2019

Refleksi Pendidikan Kita : Keseragaman Diatas Keberagaman


Mas Mendikbud

“Anda tahu betul potensi anak tidak bisa diukur dari hasil ujian. Tapi terpaksa mengejar angka karena didesak berbagai pemangku kepentingan”

“Anda tahu setiap anak punya kebutuhan yang berbeda, namun keseragaman telah mengalahkan keberagaman, sebagai prinsip dasar birokrasi”

(Mendikbud, Nadiem Makariem)

Pidato peringatan hari guru oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim yang saat viral nyatanya benar-benar mewakili potret pendidikan Indonesia saat ini. Pendidikan yang menjadi aspek penting bagi kemajuan suatu bangsa telah lama dikesampingkan oleh bangsa Indonesia sendiri. Cita-cita pendiri bangsa yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi : “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” nyatanya belum sesuai yang diharapkan. Pendidikan yang maju tentunya akan melahirkan bangsa yang cerdas, yang akan membawa kemajuan bagi bangsa.

74 tahun sudah Indonesia merdeka, 74 tahun juga pendidikan bangsa mengalami masalah. Ketidakmerataan, sulitnya akses, eksklusifitas, biaya yang mahal menjadi salah satu masalah yang tengah kita hadapi. Saya tidak mungkin menjabarkan segala permasalahannya satu per satu, namun masalah yang menurut saya paling penting adalah

“Apakah pendidikan kita benar-benar membuat kita menjadi bangsa yang cerdas?”
Atau justru “Pendidikan hanya membuat kita menjadi semakin bodoh?”
Salah satu permasalahan pendidikan Indonesia yang saya soroti adalah keseragaman. Pendidikan yang ada saat ini cenderung membuat pelajar untuk menjadi seragam dan takut berbeda. Hakikat utama pendidikan adalah kemerdekaan berpikir. Dengan merdeka berpikir tanpa terkungkung apapun tentunya memberikan banyak warna dalam pemikiran. Keseragaman yang ada saat ini tentunya membatasi pelajar untuk berani berbeda dan berani memilih warna lain dalam pemikirannya. Padahal yang terpenting bukan warnanya tapi alasan mengapa memilih warna itu.

Keseragaman pendidikan kita saat ini dibuktikan dengan sistem penilaian berbasis ujian yang masih menjadi penilaian utama. Saya sepakat dengan pernyataan Mas Menteri, “Potensi anak tidak bisa diukur dari hasil ujian”. Selembar kertas soal dan jawaban yang dikerjakan dalam 1-2 jam seakan-akan dapat mengukur potensi kita. Saya sedari dahulu memang tidak sepakat dengan sistem penilaian berbasis ujian. Penilaian berbasis ujian hanya mengajarkan kita untuk menjadi tidak jujur dan tidak menjadi diri kita sendiri. Berikut ini saya akan berikan analogi sederhana dengan mengukur suatu besi.

            Saat kita ingin mengukur panjang suatu besi, tentunya kita perlu memastikan alat ukur kita berfungsi dengan baik namun yang terpenting adalah kita harus dapat memastikan besi yang kita ukur tidak berubah panjangnya sebelum kita ukur, saat kita ukur dan setelah kita ukur. Saat hal tersebut dapat kita pastikan, maka hasil pengukuran kita akan presisi. Namun saat kita mengukur kemampuan seseorang lewat ujian, orang tersebut akan berubah dan berbeda saat sebelum kita ukur, saat kita ukur dan setelah kita ukur. Misal, jika sebelum ujian kemampuan seseorang bernama Yoyo kita asumsikan bernilai 7. Saat Yoyo mendapat pengumuman ujian dilaksanakan 3 hari kedepan ia akan belajar mati-matian agar dapat menjawab ujian dengan maksimal. Yoyo yang semula tidak pernah belajar, santai dan lebih senang menghabiskan waktu untuk bermain game akan berubah menjadi pelajar yang giat belajar. Sistem seperti ini sering kita sebut sistem kebut semalam (SKS). Alhasil kemampuan Yoyo yang semula 7 akan meningkat menjadi 9 saat ujian. Jika kembali ke analogi mengukur besi, maka besi sebelum kita ukur panjangnya 7 cm akan berubah menjadi 9 cm saat kita ukur. Tentunya hasil pengukuran kita akan tidak valid, dimana ada perbedaan antara sebelum dan saat pengukuran. Selanjutnya, saat ujian telah selesai atau bahkan saat lembar jawaban baru dikumpulkan kemampuan Yoyo akan kembali lagi menjadi 7 karena Yoyo memiliki prinsip “Datang, Kerjakan, Lupakan” dalam ujian. Jika kita analogikan ke pengukuran besi maka besi akan kembali lagi menjadi 7 cm sesaat setelah kita melakukan pengukuran.

            Dari analogi yang telah saya sampaikan diatas, maka dapat dilihat bahwa sistem penilaian dengan ujian tidak valid, membuat pelajar untuk tidak jujur dan tidak menjadi dirinya sendiri. Sistem ujian tidak valid mengukur kemampuan Yoyo, ujian menilai Yoyo dengan 9 padahal kemampuan sebenarnya adalah 7. Alhasil Yoyo tidak jujur pada dirinya sendiri dan Yoyo tidak benar-benar menjadi dirinya sendiri akibat tuntutan untuk mendapatkan nilai sebagus mungkin. Ditambah indikator penilaian ujian yang seragam dalam menilai semua orang, padahal setiap pelajar spesial dan tidak dapat diseragamkan.

            Saya sepakat bahwa tidak semua pelajar seperti Yoyo, mungkin ada beberapa pelajar yang benar-benar menikmati belajar, berkemampuan yang sama sebelum, saat dan setelah ujian namun dari hasil pengamatan saya selama ini dan ditambah pengalaman sendiri memperkuat argumen saya. Ujian membuat kita menjadi seragam, tidak jujur dan tidak menjadi diri sendiri. Ditambah penilaian hanya sebatas melihat angka hasil ujian, bukan pada proses mendapatkan angkanya. Membuat paradigma pelajar menjadi result oriented bukan process oriented. Saya merasa kita perlu belajar kepada negara-negara barat yang sangat menghargai keberagaman. “It’s okay to be different, since you know the reason why you are different than others”.
Kemerdekaan berpikir akan melahirkan keberagaman pikiran dan tentunya akan melahirkan solusi yang berwarna. Oleh karena itu saya menaruh harapan yang besar pada mas Mendikbud Nadiem Anwar Makariem yang saya lihat sangat berkomitmen untuk menghilangkan keseragaman dalam pendidikan kita dengan semangat “Merdeka Belajar”. Semoga pendidikan kita dapat menghargai keberagaman dan membuat kita merdeka dalam berpikir.

Selamat Hari Guru
Merdeka Belajar, Guru Penggerak!

0 komentar:

Posting Komentar