Mas Mendikbud |
“Anda tahu betul potensi
anak tidak bisa diukur dari hasil ujian. Tapi terpaksa mengejar angka
karena didesak berbagai pemangku kepentingan”
“Anda tahu setiap anak
punya kebutuhan yang berbeda, namun keseragaman telah mengalahkan
keberagaman, sebagai prinsip dasar birokrasi”
(Mendikbud, Nadiem
Makariem)
Pidato
peringatan hari guru oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim
yang saat viral nyatanya benar-benar mewakili potret pendidikan Indonesia saat
ini. Pendidikan yang menjadi aspek penting bagi kemajuan suatu bangsa telah
lama dikesampingkan oleh bangsa Indonesia sendiri. Cita-cita pendiri bangsa
yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi : “Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa” nyatanya belum sesuai yang diharapkan. Pendidikan yang
maju tentunya akan melahirkan bangsa yang cerdas, yang akan membawa kemajuan
bagi bangsa.
74
tahun sudah Indonesia merdeka, 74 tahun juga pendidikan bangsa mengalami
masalah. Ketidakmerataan, sulitnya akses, eksklusifitas, biaya yang mahal
menjadi salah satu masalah yang tengah kita hadapi. Saya tidak mungkin
menjabarkan segala permasalahannya satu per satu, namun masalah yang menurut
saya paling penting adalah
“Apakah pendidikan kita
benar-benar membuat kita menjadi bangsa yang cerdas?”
Atau justru “Pendidikan
hanya membuat kita menjadi semakin bodoh?”
Salah
satu permasalahan pendidikan Indonesia yang saya soroti adalah keseragaman.
Pendidikan yang ada saat ini cenderung membuat pelajar untuk menjadi seragam
dan takut berbeda. Hakikat utama pendidikan adalah kemerdekaan berpikir.
Dengan merdeka berpikir tanpa terkungkung apapun tentunya memberikan banyak
warna dalam pemikiran. Keseragaman yang ada saat ini tentunya membatasi pelajar
untuk berani berbeda dan berani memilih warna lain dalam pemikirannya. Padahal
yang terpenting bukan warnanya tapi alasan mengapa memilih warna itu.
Keseragaman
pendidikan kita saat ini dibuktikan dengan sistem penilaian berbasis ujian yang
masih menjadi penilaian utama. Saya sepakat dengan pernyataan Mas Menteri, “Potensi
anak tidak bisa diukur dari hasil ujian”. Selembar kertas soal dan jawaban
yang dikerjakan dalam 1-2 jam seakan-akan dapat mengukur potensi kita. Saya
sedari dahulu memang tidak sepakat dengan sistem penilaian berbasis ujian. Penilaian
berbasis ujian hanya mengajarkan kita untuk menjadi tidak jujur dan tidak
menjadi diri kita sendiri. Berikut ini saya akan berikan analogi sederhana
dengan mengukur suatu besi.
Saat kita ingin mengukur panjang
suatu besi, tentunya kita perlu memastikan alat ukur kita berfungsi dengan baik
namun yang terpenting adalah kita harus dapat memastikan besi yang kita ukur tidak
berubah panjangnya sebelum kita ukur, saat kita ukur dan setelah kita
ukur. Saat hal tersebut dapat kita pastikan, maka hasil pengukuran kita
akan presisi. Namun saat kita mengukur kemampuan seseorang lewat ujian,
orang tersebut akan berubah dan berbeda saat sebelum kita ukur, saat kita ukur
dan setelah kita ukur. Misal, jika sebelum ujian kemampuan seseorang
bernama Yoyo kita asumsikan bernilai 7. Saat Yoyo mendapat pengumuman ujian
dilaksanakan 3 hari kedepan ia akan belajar mati-matian agar dapat menjawab
ujian dengan maksimal. Yoyo yang semula tidak pernah belajar, santai dan lebih
senang menghabiskan waktu untuk bermain game akan berubah menjadi pelajar yang
giat belajar. Sistem seperti ini sering kita sebut sistem kebut semalam (SKS).
Alhasil kemampuan Yoyo yang semula 7 akan meningkat menjadi 9 saat ujian. Jika
kembali ke analogi mengukur besi, maka besi sebelum kita ukur panjangnya 7 cm
akan berubah menjadi 9 cm saat kita ukur. Tentunya hasil pengukuran kita akan
tidak valid, dimana ada perbedaan antara sebelum dan saat pengukuran.
Selanjutnya, saat ujian telah selesai atau bahkan saat lembar jawaban baru
dikumpulkan kemampuan Yoyo akan kembali lagi menjadi 7 karena Yoyo memiliki
prinsip “Datang, Kerjakan, Lupakan” dalam ujian. Jika kita analogikan ke
pengukuran besi maka besi akan kembali lagi menjadi 7 cm sesaat setelah kita
melakukan pengukuran.
Dari analogi yang telah saya
sampaikan diatas, maka dapat dilihat bahwa sistem penilaian dengan ujian tidak
valid, membuat pelajar untuk tidak jujur dan tidak menjadi dirinya sendiri.
Sistem ujian tidak valid mengukur kemampuan Yoyo, ujian menilai Yoyo dengan 9
padahal kemampuan sebenarnya adalah 7. Alhasil Yoyo tidak jujur pada dirinya
sendiri dan Yoyo tidak benar-benar menjadi dirinya sendiri akibat tuntutan
untuk mendapatkan nilai sebagus mungkin. Ditambah indikator penilaian ujian
yang seragam dalam menilai semua orang, padahal setiap pelajar spesial dan
tidak dapat diseragamkan.
Saya sepakat bahwa tidak semua
pelajar seperti Yoyo, mungkin ada beberapa pelajar yang benar-benar menikmati
belajar, berkemampuan yang sama sebelum, saat dan setelah ujian namun dari
hasil pengamatan saya selama ini dan ditambah pengalaman sendiri memperkuat
argumen saya. Ujian membuat kita menjadi seragam, tidak jujur dan tidak menjadi
diri sendiri. Ditambah penilaian hanya sebatas melihat angka hasil ujian, bukan
pada proses mendapatkan angkanya. Membuat paradigma pelajar menjadi result
oriented bukan process oriented. Saya merasa kita
perlu belajar kepada negara-negara barat yang sangat menghargai keberagaman. “It’s
okay to be different, since you know the reason why you are different than
others”.
Kemerdekaan
berpikir akan melahirkan keberagaman pikiran dan tentunya akan melahirkan
solusi yang berwarna. Oleh karena itu saya menaruh harapan yang besar pada mas
Mendikbud Nadiem Anwar Makariem yang saya lihat sangat berkomitmen untuk
menghilangkan keseragaman dalam pendidikan kita dengan semangat “Merdeka
Belajar”. Semoga pendidikan kita dapat menghargai keberagaman dan membuat
kita merdeka dalam berpikir.
Selamat
Hari Guru
Merdeka
Belajar, Guru Penggerak!